Powered By Blogger

Kamis, 17 Februari 2011

Gereja Tambah Negara Bisa Sama Dengan Demokrasi

New York, New York/Berlin – Krisis yang terjadi baru-baru ini di Turki mengenai
jangkauan sekularisme menyoroti hubungan antara agama dan negara di
negara-negara Muslim. Para jenderal Turki, yang memperingatkan melemahnya
pemisahan negara dan agama, tidak memperoleh liputan memadai secara
internasional. Namun, peringatan tersebut ringan sifatnya mengingat kemunduran
yang diakibatkan oleh campur tangan mereka bagi demokrasi Turki.
Para jenderal tersebut dapat mengandalkan keprihatinan yang mendalam di
demokrasi-demokrasi Barat terhadap peran agama dalam negara-negara mayoritas
Muslim. Walaupun sebagian dari keprihatinan ini dapat dibenarkan, namun ada
sebuah kesalahanpahaman konsep hubungan negara-agama dalam demokrasi. Banyak
kalangan di negara-negara Barat dan mayoritas Muslim percaya sebuah demokrasi
yang berjalan baik membutuhkan pemisahan ketat antara negara dan agama – yang
terakhir dipandang sebagai urusan pribadi semata. Namun, demokrasi-demokrasi
yang berjalan baik, telah memperlihatkan sejumlah hubungan kelembagaan antara
agama dan negara.
Amerika Serikat dan Prancis, misalnya, telah memisahkan keduanya dengan tegas.
Tetapi di Inggris dan Norwegia, ada hubungan yang kompleks dan saling terkait
antara negara dan agama, dengan tingginya tingkat keterkaitan perundang-undangan
dan agama. Apa yang diperlihatkan oleh berbagai contoh demokrasi-demokrasi yang
telah lama berdiri di Eropa adalah bahwa hubungan antara lembaga-lembaga
keagamaan dan negara tidak harus merusak demokrasi – hal itu lebih ditentukan
oleh sifat hubungan ini.
Sebuah pandangan terhadap dukungan negara bagi pendidikan agama, pembiayaan
syariah, dan alokasi waktu siaran bagi masyarakat-masyarakat keagamaan dalam
media publik menggambarkan bagaimana negara memperbolehkan ruang publik bagi
masyarakat keagamaan tanpa membahayakan politik demokrasi.
Ambil contoh pendidikan keagamaan. Hampir di setiap negara di Uni Eropa
memberikan sebentuk perintah keagamaan di sekolah negeri atau pendanaan negara
bagi sekolah-sekolah keagamaan. Di Belanda, misalnya, negara mensubsidi
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, yang mencakup lebih dari 50 persen dari
seluruh sekolah dasar yang ada. Di kebanyakan negara bagian Jerman, agama
merupakan mata pelajaran pilihan yang diajarkan di sekolah-sekolah menengah
negeri. Bahkan di Prancis yang"republikan", para guru di sekolah-sekolah agama
memenuhi persyaratan bagi dukungan negara dan hingga seperlima dari keseluruhan
anggaran pendidikan diberikan kepada sekolah-sekolah swasta Katolik. Di Inggris,
pendidikan keagamaan non-denominasional merupakan hal yang wajib di semua
sekolah negeri.
Pada saat yang sama, banyak negara Eropa yang mendanai dan merancang pelatihan
para guru agama, selain para calon teolog di fakultas-fakultas teologi
universitas negeri. Di Norwegia, misalnya, pemerintah bahkan menunjuk para uskup
dan dekan, memiliki pengaruh cukup besar dalam penentuan profil kepemimpinan
gereja.
Terkait dengan pembiayaan keagamaan, di Jerman, Italia, Spanyol, dan
Finlandia, negara, sebagai imbalan atas biaya adminisratif yang cukup besar,
menarik pajak keagamaan bersama dengan pajak pendapatan dan menyalurkannya
kepada masyarakat-masyarakat keagamaan yang diakui. Sistem seperti itu hanya
dapat berjalan pada masyarakat-masyarakat keagamaan yang telah menciptakan
sebuah adminisrasi terpusat yang kemudian menyalurkan pungutan-pungutan tersebut
kembali ke tingkat lokal. Namun, ketiadaan struktur terpusat tersebut yang
biasanya menghalangi masyarakat Protestan karismatik dan Muslim menikmati
keuntungan-keuntungan yang sama.
Di beberapa negara Eropa, masyarakat-masyarakat keagamaan juga menerima
potongan pajak tambahan. Kembali ke Norwegia, hampir seluruh anggaran gereja –
kebanyakan gaji dan anggaran berjalan lain, serta pemeliharaan dan pembangunan
gereja-gereja baru – tetap menjadi bagian dari anggaran negara dan kota.
Akhirnya, di banyak negara Eropa, masyarakat-masyarakat keagamaan telah
dijamin waktu siaran pada televisi publik dan stasiun-stasiun radio negeri.
Sebagai badan publik, gereja dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya diwakili
pada dewan stasiun milik publik dan badan pengaturan media dalam German Lander.
Gereja memiliki waktu yang tetap untuk menyiarkan doa pagi, program-program
layanan gereja dan meditasi. Di Prancis, penyiaran program-program keagamaan
pada televisi publik ditetapkan lewat undang-undang: umat Katolik memiliki waktu
360 menit penyiaran, sementara umat Protestan dan Buddhis masing-masing memiliki
waktu 60 menit.
Apakah hubungan-hubungan antara agama dan politik seperti itu merupakan
antitesis bagi demokrasi? Contoh-contoh Eropa tidak menunjukkan hal tersebut.
Hubungan antara lembaga-lembaga keagamaan dan politis di UE banyak yang
berlangsung di bawah kekuasaan hukum demokratis yang telah berumur panjang, dan
komitmen negara-negara tersebut terhadap liberalisme demokratis biasanya tidak
dipertanyakan.
Dari perspektif negara-negara mayoritas Muslim, mitos bahwa demokrasi harus
didasarkan pada pemisahan ketat antara negara dan agama bisa menjadi hal yang
berbahaya. Di satu pihak, ia memungkinkan rezim-rezim otoritarian "sekuler" di
dunia Arab, misalnya, untuk menggambarkan diri mereka sebagai benteng melawan
berbagai partai dan kelompok "non-demokratis" relijius, tanpa memberikan
partai-partai Islam moderat waktu berproses untuk membuktikan bahwa kerangka
mereka tidak anti-demokrasi. Di pihak lain, hal tersebut memungkinkan para
fundamentalis relijius menuduh demokrasi Barat mengabaikan, jika tidak
bermusuhan secara terbuka terhadap agama. Demokrasi-demokrasi yang telah lama
berdiri, khususnya di UE, seharusnya melakukan upaya diplomasi publik lebih
besar untuk menjelaskan bahwa ada banyak bentuk konstitusi yang tidak melekat
dengan hal yang tidak liberal dan yang memadukan tata pemerintahan demokratis
dengan sebentuk peran publik bagi agama.
Pemisahan ketat antara negara dan agama bukanlah sebuah prasyarat agar
demokrasi dapat berjalan. Demokrasi harus memiliki rasa hormat kepada kekuasaan
hukum dan pembelaan hak-hak manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar